HWI

Anda ingin memiliki berat badan ideal? Dapatkan produk diet sehat dan aman hanya di WA atau Phone +6281274588731

Resensimu

Rabu, 13 Januari 2010

**Menguak Cara Pikir Nabi

Judul : Berpikir Seperti Nabi
Penulis : Fauz Noor
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Pustaka Sastra
Tebal : xxiv + 508 halaman



Judul buku “Berpikr Seperti Nabi” sangat menggugah pikiran alam bawah sadar kita. Pasalnya, pertanyaan apakah nabi selama ini berpikir atau tidak masih juga belum dapat dituntaskan. Terdapat keterangan bahwa seluruh perkataan nabi pada dasarnya hanyalah firman Allah. Semantara lisan nabi hanyalah perantara.

Berbagai perbedaan pendapat ada di dalam lingkungan kita. Hal itu bukanlah kenafian dan tidak boleh mengklaim salah sat pihak salah secara mutlak. Masing-masing dari pendapat mempunyai dasar yang kuat. Bahkan semenjak awal kita juga sudah mendapatkan contoh bagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat. Mazhab besar Mu’tazilah dan Asy’ariyah saling berbeda pendapat tentang zat Allah SWT.

Mazhab Mu’tazilah menuturkan bahwa Allah tidaklah mempunyai sifat. Alasan yang dikemukakan adalah Kholik (baca : Allah) tidaklah dapat disamakan dengan makhluk. Dalam hal ini makhluk mempunyai sifat, maka agar berbeda, Kholik tidak mempunyai sifat. Pendapat ini sangatlah kuat dasarnya dan tidaklah pantas seseorang menyalahkan dengan serta-merta. Sementara mazhab Asy’ariyah mengemukakan bahwa zat Allah mempunyai sifat. Alasan yang dikemukakan adalah ketika zat melakukan apa-apa berarti mempunyai sifat. Maka dari sinilah dikarenakan zat Allah melakukan sesuatu maka zat Allah dikatakan mempunyai sifat. Pendapat inipun juga tidak boleh dibantah tanpa alasan yang jelas.

Dalam konteks kekinian terdapat juga golongan muslimin yang saling bertolak belakang. Di satu sisi terdapat golongan yang dapat dikata tidak berani berpikir tentang agama dan juga nabi. Apapun yang dilakukan nabi, seperti itulah yang hendaknya dilakukan. Cara berpakaian nabi, cara berbudaya nabi dan sejenisnya menjadi pegangan golongan ini. Sementara di lain sisi terdapat golongan yang selalu berpikir dan kebablasan sehingga terkesan asal-asalan. Golongan ini lebih banyak mengambil inti dari apa yang diajarkan rasul an direlevansikan terhadap zaman dan tempo agama Islam.

Melalui buku inilah Fauz Noor seakan-akan mengajukan gagasannya, yang jika mungkin suatu saat ada sebuah pertanyaan diajukan kepada kedua kelompok di atas yang saling kontra, maka dengan mengetahui cara pikir nabi, seseorang akan dapat memperoleh jawaban yang berbeda dari keduanya. Terlebih dari itu buku ini juga akan menjawab sekian persoalan terkait dengan pertanyaan nabi berpikir atau tidak.

(Diresensi oleh : Anton Prasetyo, Santri Nurul Ummah, penggiat Komunitas Sastra Matapena LKIS Yogyakarta)

Selasa, 12 Januari 2010

** NU Menerabas Tradisionalitas?

Judul : Pergolakan di Jantung Tradisi
Penulis : As’ad Said Ali
Pengantar : KH Sahal Mahfudz
Penerbit : LP3ES, September 2008
Halaman : 263 halaman


Sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Tanah Air bahkan di dunia. Nahdlatul Ulama (NU) sejak lama kerap menyedot perhatian. Apalagi dalam perjalanan panjangnya – dinamika ormas Islam berdiri sejak tahun 1926 ini belakangan sudah bergerak sedemikian rupa menuju progresivitas pemikiran. Bahkan, ditengarai pergolakan pemikiran pada tubuh NU berkembang menerabas tradisionalitas itu sendiri. Konflik internal antara golongan tua yang gigih mempertahankan tradisi dan kalangan muda yang menghendaki perubahan pun tak bisa dihindari. Lazimnya proses perubahan, bertolak dari berbagai gagasan pembaruan – kalangan muda dengan wataknya yang progresif dan kritis mempertanyakan tradisi. Dan kaum tua yang menolak eforia perubahan pun berdalil perubahan akan mengancam identitas tradisi.

Kehadiran figur Abdurrahman Wahid yang sejak tahun 80-an hingga menjelang akhir hayatnya 30 Desember 2009 lalu, menggelindingkan bola ”pencerahan” diyakini memberikan pengaruh dahsyat bagi warga NU. Belakangan, muncul anak-anak muda NU seperti Ulil Abrahar Abdalla yang pemikirannya seakan lepas landas dari basis tradisionalitas yang masih digenggam oleh warga NU trutama kalangan ulama sepuh.

”Beberapa perubahan besar memang sudah dan sedang terjadi di dalam lingkungan warga nahdliyin,” tulis As’ad Said Ali dalam bukunya berjudul lengkap : ”Pergolakan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati.” Perubahan itu digerakkan oleh kalangan muda yang berpendidikan ganda : pesantren dan pendidikan modern. Mereka seakan menjadi counterpart kalangan ulama tradisional dalam memodernisasi NU,” tambah warga tulen NU asal Kudus Jateng, jebolan Pondok Pesantren Krapyak asuhan KH Ali Ma’shum yang kini menjabat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.

NU dan perubahan memang senantiasa menarik untuk diamati – terutama perubahan yang berkorelasi dengan sejarah politik kekuasaan. Apalagi, NU senantiasa menghadirkan dinamika perubahan yang dikehendaki oleh konteks ruang dan waktu serta kelenturan para nahdliyin dalam menerjemahkan tradisi. Hal inilah yang tak luput dari pengamatan As’ad Said Ali guna menggiring pembaca buku untuk memasuki pergolakan pemikiran yang terjadi di tengah berbagai isu kontemporer. Terutama isu liberalisasi pemikiran melanda kalangan muda yang cenderung konfrontatif terhadap para ulama sepuh yang setia menjaga kemapanan tradisi NU.

Secara umum buku ini menyoroti dinamika perubahan dalam NU sejak periode 1980-an hingga memunculkan sebutan NU Struktural dan NU Kultural seperti sekarang. Meski masih menyinggung dinamika perubahan politik NU semasa Orde Baru, namun pengamatan penulis terkonsentrasi pada fenomena pergolakan di tubuh NU pasca Reformasi 1998. Dalam pergolakan inilah tampak bagaimana tradisionalisme keagamaan dan otoritas kaum ulama mendapat serbuan bertubi-tubi dari kalangan muda NU.

Buku yang terdiri dari tujuh bab ini juga menyimpan pengamatan menarik ihwal neoliberalisme (Neolib) dan korelasinya dengan pembentukan berbagai NGO demi mengusung kepentingan neolib. Apakah berbagai NGO di tubuh NU hanyalah perpanjangan tangan dari negara atau lembaga demi kepentingan neolib? Lewat data yang komprehensif ihwal hubungan NU dengan berbagai NGO, penulis buku mengarahkan pengamatannya pada wilayah kemandirian perekonomian.

(Diresensi oleh : Chaidir)

Rabu, 06 Januari 2010

** Membongkar Pseudo-Kelaziman Perempuan

Judul Buku : Lahir dari Rahim
Penulis : P Mutiara Andalas SJ
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Cetakan : I/2009
Tebal Buku : 320 Halaman

Membahas permasalahan gender adalah menganalisis hubungan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Bukan permasalahan kodrat laki-laki yang memproduksi sperma dan perempuan melahirkan. Sebagai manusia keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan perannya sebagai makhluk soaial. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah struktur soaial yang timpang, bias gender yang menyebar luas dan mempengaruhi pola pikir, tindakan dan bentuk kehidupan sosial di negeri ini.

Menjadi perempuan atau laki-laki merupakan bentuk yang diciptakan oleh struktur masyarakat. Hal ini tidaklah paten, melainkan dapat diubah apabila didalamnya terdapat ketidak adilan bagi salah satu gender. Salah satu hasil dari ciptaan struktur soaial yang memasung perempuan adalah stereotype yang menindas dan menimbulkan ketidak adilan bagi perempuan dalam kehidupan sosial. Akan tetapi sering terabaikan oleh banyak kalangan karena sudah diangap menjadi sebuah hal yang lazim oleh masyarakat.

Akibat dari penciptaan stereotype ini muncul penindasan. Penindasan pada perempuan ini terjadi secara berkelanjutan tanpa adanya kesadaran bahwa kegiatan-kegiatan kekerasan simbolik ini sebagai sebuah ketidak adilan. Ironisnya, hal ini seringkali dianggap sebagai kelaziman.

Apakah karya P Mutiara Andalas SJ menghadapi kondisi perempuan seperti wacana di atas? Andalas adalah seorang teolog humania dan seorang laki-laki profemnis. Melalui karyanya ini ia membidik wacana perempuan Asia melalui pendekatan teolog profeminis.

Ajakan Andalas melalui buku ini merupakan upaya rekonstruksi stereotype perempuan dalam struktur sosial secara kolektif. Para tokoh intelektual, agama, pendidikan, politik dan semua kalangan masyarakat untuk menyadari gejala-gejala ketidak adilan di sekitarnya dan melakukan pembebasan dengan bertindak dan berpikir secara kritis dan peka.

Karya ini ditlis sangat akademis serta menggunakan gaya bahasa metafor dan pemilihan bahasa yang netral dan lembut tanpa harus menyentuh bias gender. Disinilah kekuatan buku ini. Sebab menurut Mary Joe Frug, bahasa merupakan kekuatan yang membentuk realita dan realitas gender merupakan system of meaning. Susunan bahasa yang dipilih untuk menggambarkan suatu makna menentukan bagaimana pengetahuan atau common opinion terbentuk. Makna gender juga dipertaruhkan jika dalam penggunaan bahasa jusru menggambarkan adanya ketidak seimbangan komunikasi soaial antara wanita dan pria.

Sebuah karya yang layak untuk mendapatkan perhatian dunia akademik, teologis dan sosial sebagai referensi bacaan pengembangan pengetahuan. Karya ini membuka mata publik tentang sesuatu yang terlipat, sesuatu yang tersembunyi. Padahal ia sebenarnya tampak jelas dalam ruang publik, dengan disertai berbagai studi kasus dan kisah nyata ketertindasan kaum perempuan dalam dunia sosialnya. Sebuah karya hasil dari kecerdasan intelektual dan keimanan yang disajikan dalam bahasa yang lembut dan memberikan ruang kebebasan berpikir bagi para pembaca.

(Direferensi oleh : Abda'iyah Alhadi, Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM)

** Merenungkan Manusia

Judul Buku : Manusia, Teka-teki yang Mencari Solusi
(Hommage untuk Prof Dr M Sastrapratedja)
Editor : A Setyo Wibowo
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Terbit : 2009
Tebal : 308 Halaman

Perbincangan tentang manusia sungguh tidak ada habisnya. Ia akan selalu ada selama manusia ada. Manusia akan selalu bertanya tentang dirinya. Apa itu manusia? Siapa manusia itu? Dan mengapa ada manusia?

Keyakinan tentang manusia sebagai makhlukyang senantiasa mempertanyakan dirinya, yang selalu sedang menjadi, dikatakan dengan cara lain oleh Michael Sastrapratedja sebagai makhluk sejarah. Manusia bukanlah sekedar datum, ia adalah makhluk bersejarah yang lewat relasinya dengan segala macam lingkungannya berusaha, tanpa pernah henti membentuk dirinya sendiri.

Menyatakan manusia sebagai makhluk menyejarah artinya membuka diri pada ragam ide tentang manusia yang dalam seluruh kajian filsafat senantiasa terus berubah. Pada perkembangannya yang kontemporer, pasca modernisme justru membuat kita meragukan ide tentang manusia itu sendiri. Namun bukan berarti klaim besar pascamodern itu mengakhiri pertanyaan manusia berakhir tentang dirinya sendiri. Sastrapratedja justru yakin bahwa sejauh manusia masih mempertanyakan apa artinya menjadi manusia agar layak disebut manusia, maka humanism sebagai pandangan hidup dan sebagai filsafat masih relevan. (halaman 5-6).

Buku ini berisi 13 esai yang ditulis secara istimewa oleh para akademisi sebagai ucapan terima kasih kepada M. Sastrapratedja. Ia dikenal sebagai "penjaga" kawasan akademik dan intelektual yang disebut filsafat manusia atau antropologi filosofis. Itulah pintu gerbang untuk memahami siapa itu manusia dan mengapa ia tetap menjadi teka-teki bahkan bagi dirinya sendiri.

Buku ini dihadiahkan sebagai undangan kepada publik untuk merawat pencarian jawaban atas enigma yang bernama "manusia". Membaca buku ini seperti meneliti diri sendiri. mencari jawaban atas manusia yang dipertanyakan sendiri oleh "manusia".

Buku ini tidak hanya berbicara tentang mantan Rektor Universitas Sanata Dharma dan Direktur Program Pascasarjana STF Driyakara Jakarta saja, namun berbicara mengenaihakikat diri manusia sebagai makhluk soaial yang terus berproses. Lebih dari itu, buku ini memberikan garis besar jawaban-jawaban atas pencarian manusia dari kacamata akademik.

Walaupun ditulis ole akademisi dan pakar filsafat, namun buku ini mudah dibaca dan dipahami. Bku ini sangat layak dibaca oleh siapapun yang mengaku dirinya manusia.

(Diresensi oleh : Benni Setiawan, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)